Hari Pahlawan: 3 Pejuang Indonesia yang Terlupakan
Sumber : assets-a2.kompasiana.com foto : fimela |
Hari Pahlawan menjadi momen yang tepat untuk kembali mengupas sejarah yang lama tak ditengok. Ada tiga orang yang juga ikut berjasa, meski namanya masih asing terdengar di telinga sebagian masyarakat.
Supriyadi. Lahir di Trenggalek, Jawa Timur, tahun 1923. Supriyadi merupakan pahlawan nasional Indonesia dan pemimpin pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) terhadap pasukan Jepang yang saat itu menduduki Blitar, 70 tahun lalu. Dua tahun sebelum Indonesia merdeka, Jepang mendirikan PETA untuk membantu tentara Jepang menghadapi sekutu. Supriyadi kemudian ikut bergabung dan mengikuti pelatihan di Blitar. Dia ditugaskan mengawasi pekerja romusha. Melihat begitu menderitanya mereka, Supriyadi kemudian bangkit dan menjadi otak pemberontakan melawan Jepang.
Tan Malaka. Bernama asli Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka, Tan Malaka merupakan pahlawan nasional, seorang guru, filsuf Indonesia, dan bekas aktivis PKI. Melawan penjajah bukan hanya dengan bambu runcing dan senjata. Tapi juga dengan pikiran. Tan Malaka kerap menulis propaganda, ketika mengajar kaum buruh di kampung halaman, sekembalinya dari Belanda usai menempuh pendidikan. Dua karya yang sangat penting adalah Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika) dan Gerpolek.
Tan Malaka pernah dipenjara tanpa diadili terlebih dahulu selama dua setengah tahun. Tan Malaka merupakan seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Karenanya, Tan Malaka harus terus bersembunyi dan lari dari buruan polisi rahasia internasional. Menurut Harry A Poeze, Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara (KITLV), Tan Malaka gugur ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, Desa Selopanggung, Kediri pada 21 Februari 1949.
Kusno Wibowo. Kejadian ini tepat pada 10 November 70 tahun lalu. Setelah proklamasi dibacakan, Indonesia resmi menjadi sebuah negara. Tanggal 31 Agustus, keluar sebuah maklumat pemerintahan Soekarno yang menetapkan bahwa mulai 1 September, bendera nasional Sang Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia. Tapi, pada 18 September, datang para opsir-opsir Sekutu dan Belanda dari AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) ke Surabaya dan ditempatkan di Hotel Yamamoto atau Oranje. Pada malam harinya, 19 September, pukul 21.00, sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman mengibarkan bendera Belanda (merah-putih-biru).
Rakyat Indonesia marah dan berita ini sampai di telinga Sudirman. Surdirman kemudian masuk ke dalam hotel dan berusaha untuk berunding. Sayangnya, perundingan tersebut gagal. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Kusno Wibowo pada akhirnya berhasil menurunkan bendera tersebut dan merobek bagian birunya, lalu mengereknya kembali ke atas. Diiringi dengan pekikkan “Merdeka!” bendera Merah Putih kembali berkibar.
Di Hari Pahlawan ini, ketiga jasa dan nama pahlawan harus kembali dikenang. Bukan hanya sekadar dikenal, tapi juga diresapi bagaimana perjuangan mereka saat itu, hingga generasi muda kini hidup tentram. Semoga generasi masa kini dapat meneruskan kobaran semangat kemerdekaan, dengan menjadikan negara ini bersih dan maju dalam bidang pendidikan dan ekonomi.
0 Komentar